![]() |
Ketika Anak Lebih Dekat kepada Pembantu |
“Bang Syaiha,” katanya pada sebuah pesan
singkat, “perkenalkan, nama saya Indah –bukan
nama sebenarnya. Saya adalah salah satu pembaca setia tulisan-tulisan Bang Syaiha. Alhamdulillah, darisana saya mendapatkan banyak ilmu dan pelajaran.”
“Begini,
Bang,” ujarnya kemudian, “sebenarnya ada yang ingin saya sampaikan, terkait
kegundahan yang saya miliki sekarang.”
Lengang
sejenak. Sekitar satu menit tidak ada pesan singkat lagi. Saya pikir Indah tak
jadi meluapkan kegelisahannya saat itu juga. Tapi saya salah. Karena beberapa
jenak kemudian, cerita itu datang.
“Saya
adalah seorang ibu, sudah punya anak satu dan tumbuh dengan sangat baik. Dan
letak masalahnya itu disitu, Bang, tentang anak saya.”
Saya
khidmat membaca pesan singkatnya pelan-pelan.
“Setelah
menikah, saya langsung bekerja di sebuah perusahaan besar di Indonesia, Bang. Saya
bingung hendak menolak atau menerima tawaran dari mereka karena iming-iming
yang mereka sodorkan lumayan besar. Wajar saja, pasalnya, saya memang sudah
bekerja disana sejak lama. Sempat berhenti sejenak ketika hendak menikah dan
kemudian saya dihadiahi jabatan yang rasa-rasanya sulit sekali untuk ditolak.”
“Akhirnya
saya mendiskusikan semuanya dengan suami dan memutuskan menerima pekerjaan itu.”
Sampai
disini, saya masih berpikir, beruntung sekali Indah. Saat orang lain kesulitan
mencari pekerjaan, dia malah ditawari dengan gampang. Tinggal melenggang saja.
“Bekerjalah
saya disana dan beberapa bulan kemudian saya hamil. Semuanya berjalan normal,
pekerjaan saya lancar dan saya bisa melahirkan dengan tenang. Uang dan segala
kebutuhan ada. Gaji saya besar dan mampu memenuhi semuanya.”
“Setelah
melahirkan, pekerjaan saya menumpuk dan mau tidak mau harus mempekerjakan
seorang baby sitter di rumah. Agar anak
saya tidak terbengkalai dan ada yang mengurusi.”
“Intensitas
bertemunya saya dan anak saya memang jarang sekali. Pasalnya saya harus bangun
pagi-pagi dan segera berangkat ke kantor –jarak
kantor dan rumahnya jauh, belum lagi ditambah jalanan yang macet. Karena itulah
Indah harus berangkat pagi-pagi. Selanjutnya, saya baru akan sampai di
rumah ketika malam sudah larut. Anak saya tentu sudah tidur dan saya tak
mungkin membangunkannya.”
“Perusahaan
tempat saya bekerja itu perusahaan besar, Bang. Sehingga tekanan dan target
yang harus dikejar juga tak tanggung-tanggung. Harus begini dan harus begitu. Karena
itulah kemudian pikiran dan tenaga saya habis disana, pulang-pulang sudah lelah.
Saya langsung mandi dan tidur juga. Bahkan mencium kening anak saya saja jarang
saya sempatkan.”
“Begitulah
rutinitas yang saya hadapi bertahun-tahun hingga kemudian, di sebuah akhir
pekan, saat saya dan keluarga memutuskan jalan-jalan ke taman bunga. Anak saya
manangis karena sesuatu hal. Sebagai seorang ibu, saya lalu berinisiatif hendak
menggendongnya, Bang.”
“Saat
itulah, ketika tangan saya terbuka dan siap memeluknya, anak saya malah menolak
dan langsung berlari ke baby sitternya
–kebetulan memang hari itu dia ikut
bersama kami jalan-jalan. Pembantu saya itu sudah memberikan buah hati saya
ke saya, tapi tetap saja ia tidak mau, menolak mentah-mentah uluran tangan
saya.”
“Saya
menangis dalam hati, Bang. Bagaimana bisa, anak saya sendiri, darah daging saya,
justru lebih dekat ke baby sitter dan
menolak saya sedemikian hebat? Saya yang mengandungnya sembilan bulan,
melahirkannya ke dunia dengan taruhan nyawa dan rasa sakit yang teramat sangat.
Sekarang, ketika ia menangis, yang dituju adalah pembantu saya. Pelukan saya
ditolaknya.”
“Dari
situ kemudian saya sadar, kedekatan saya dan dirinya yang memang jarang
terciptalah yang membuat semuanya demikian. Saya merasa berdosa dan berkeinginan
segera keluar dari pekerjaan, Bang. Saya ingin memperbaiki semuanya dan semoga
saja belum terlambat.”
Begitulah
cerita Indah. Sebuah kisah yang membuat saya terharu. Dan melalui pesan singkat
itu, dia hanya ingin menumpahkan keluh kesahnya saja, tidak meminta saran
apapun kepada saya. Indah sudah menemukan jalan keluarnya sendiri dan semoga
saja semuanya mash bisa diperbaiki.
Nah,
dari tulisan ini, saya ingin menyampaikan sebuah pelajaran penting, bahwa
perempuan memang sering kali demikian. Ketika
ia bercerita, sebenarnya, mereka hanya ingin menumpahkan semua masalahnya saja.
mereka tidak meminta solusi, mereka hanya ingin didengarkan. Dan ketika
curhatan selesai diceritakan, biasanya mereka akan lega sekali. Merasa ada yang
peduli, dan kemudian, beban di pundak mereka terkurang banyak sekali.
Begitu
juga Indah. Ia panjang lebar menceritakan semuanya kepada saya dan saya jarang
menimpali. Cuma berkata di ujung percakapan kami, “Keputusan yang akan ibu
ambil saya rasa sudah benar. Setelah keluar kerja, cobalah untuk tetap
berpenghasilan dengan melakukan kegiatan dari rumah saja, Bu. Pengalaman ibu
bekerja di perusahaan besar yang sudah bertahun-tahun, pasti bisa dijadikan
modal ilmu yang baik.”
“Iya,
Bang Syaiha, terimakasih sudah bersedia mendengarkan keluh kesah saya.”
Demikian.
11 komentar
Satu lagi dilema ibu bekerja ya, Bang. Seperti saya ....
Saya yakin....hatinya hancur....
Jadi ingat ibu yang memutuskan berhenti bekerja ketika saya lahir. Terkadang saya iri pada teman2 yang ibunya bekerja, mereka bebas main kemana saja tanpa terbelit ijin. Lha saya, harus ijin dan mencuri-curi waktu agar nggak ketahuan sama ibu. Tapi sekarang saya benar2 bersyukur punya ibu yang full time untuk anak-anaknya.
Numpang curhat bang, hehehe
Majikan saya juga begitu. Berharap anak akan lebih dekat ke ibunya, namun tidak. Ia justru lebih akrab ke pembantu rumahnya karena pembantu rumah selalu ada bersama anaknya. Kami sedikit demi sedikit membantu, agar anak dekat dengan ibunya. Setiap mereka sudah pulang, kami tinggalkan anaknya bersama oranga tuanya. Tapi, masalah lain timbul, karena orang tua juatru asyik berselancar di media sosial, selain itu masih membawa pekerjaan kantor ke rumah. Saya fikir, orang tua sendiri yabg harus mempunyai inisiatif untuk berubah, bukan malah sakit hati jika anaknya dekat dengan pembantu rumah yang menjaganya.
Iya, bener.. Selalu ada kelemahan dan kelebihan masing-masing..
Hancur berkeping-keping..
Nah, tuliskan tuh curhatannya mbak.. Keren pasti..
Sebenarnya, sesibuk apapun tetap bisa dekat dengan anak jika bisa mengatur pertemuan dengan baik dan berkualitas.. Bener begitu, kan mbak?
Bang syaiha ini menulis kegundahan hati saya juga. T-T syukurlah anak saya ini diasuh sama orang tua saya sendiri. Jadi ya ga cemburu-cenburu amat kalau dia lebih senang digendong kakeknya daripada saya. Tapi tetap saja ada yang kurang sreg di dasar hati Yang paling Dalam. Hehehe
Syukurlah kalau masih diasuh oleh kakek dan neneknya..
Setidaknya masih keluarga sendiri, orang tua sendiri..
saya mengalami, putra saya menangis minta di temani oleh simbak kami, rasanya sedih.... lalu saya ambil cara, saya pasang cctv, saya sering video call, dan ketika pulang bekerja saya ajak bermain, sampai dia kelelahan. tidak berhasil juga membuat putra kecil saya dekat dengan saya. suami saya turut andil, dengan kondisi setelah kami lelah bekerja, kami selalu mengajak putra main bersama, suami saya sangat berperan di saat bermain itu..jika sehabis kami bermain maka putra saya mau saya gendong dan mau tidur bersama saya di kamar dia... perjuangan berat sekali mendapatkan perhatian putra saya
tantangannya adalah fisik saya yang super letih setelah bekerja namun harus tetap fit di malam hari menemani putra saya bermain...
EmoticonEmoticon