![]() |
Penonton Film KMGP Membludak |
Kemarin, hari Senin, tanggal 8 Februari 2016, hari libur. Awalnya, saya nggak punya
rencana apapun, kecuali ingin istirahat, memeluk guling lebih lama,
bermalas-malasan di kasur saja. Hingga sebuah pesan singkat masuk, mengajak
saya nonton film Ketika Mas Gagah Pergi (KMGP).
Mendapatkan
ajakan itu, tanpa pikir dua kali saya langsung mengiyakan, berkata kepada teman
yang menawarkan, “Kalau begitu, saya ambil tiket gratisnya dua ya, buat saya
dan istri. Boleh?”
“Boleh,
mas. Silakan.”
Jadilah
kemarin, saya dan istri (juga bersama
Alif) menyaksikan film KMGP. Saya berangkat ke tempat yang telah dijanjikan
sekitar jam setengah sepuluh pagi menggunakan jasa Gojek. Pertama karena lebih
simpel, dijemput dari rumah dan diantarkan sampai tujuan. Nggak repot. Kedua,
menggunakan Gojek, saya bisa terhindar dari kemacetan. Ketiga, karena tidak
macet, maka saya sampai tepat waktu dan tidak terlambat.
Ini
bukan promosiin Gojek loh ya. Tapi memang begitu yang saya alami sampai
sekarang. Sejak mengenal Gojek, saya jarang naik kendaraan umum lain (semoga pemilik Gojek membaca catatan ringan
ini dan saya dapat diskon kalau pakai jasa drivernya..).
Kami
menonton di Bogor Trade Mal. Ada 8 orang yang bersama saya seharusnya. Hanya saja,
karena satu orang tiba-tiba saja membatalkan, maka satu tiket gratis yang kami
pegang terpaksa nggak dipakai. Sayang banget, kan?
Padahal
saya sudah bilang ke teman, “Itu bapak cleaning service ajakin nonton aja. Kasih
tiket yang satu tadi ke dia gih!”
“Itu
bapak kan lagi kerja, Bang Syaiha!”
“Ya
nggak apa-apa, coba aja. Siapa tahu mau.”
Teman
saya tidak berkenan memberikan tiket itu dan bapak-bapak yang saya tunjuk
barusan hilir mudik mengangkut sampah dari ruangan teater, melewati kami,
menunduk-nundukkan kepala, tersenyum. Kami balas senyumannya tulus.
Ketika
kami akan menonton, gedung bioskop ramai. Padat merayap seperti tumpukan
kendaraan di jalanan ibu kota. Maju sedikit, rem. Berhenti. Antri. Maju lagi,
tak berapa lama sudah ngerem lagi.
“Sudah
seperti orang bagi sembako aja ya!” seru salah satu penonton, saya nggak tahu
siapa. Ada di arah kanan saya, arah pukul tiga (kemampuan kepramukaan saya muncul seketika).
Mendengar
itu, saya lalu semakin pelan berjalan. Takut jatuh dan terinjak-injak. Soalnya,
setiap kali bagi sembako, kan selalu ada korban. Entah pingsan atau malah
meregang nyawa. Kan nggak lucu aja, kalau sampai ada berita, “Salah Satu
Penonton KMGP Meninggal Karena Terinjak-Injak Saat Antri Hendak Mengambil
Tiket!”
Tapi
beruntungnya, itu hanya khayalan saya saja. Kemarin semuanya berjalan lancar. Kami
menonton film KMGP beramai-ramai, penuh.
Nah,
sebelum menonton itu, ada sambutan dulu dari panitia penyelenggara nonton
bareng ini. Ada Komunitas Pecinta Film Islami (KOPFI) Bogor (ini komunitas kerjaannya nonton film terus
kayaknya. Jadi pengen ikutan), Bank BJB Syariah, dan ACT.
Jadilah
acara nonton itu seperti kegiatan formal. Seperti rapat-rapat organisasi atau
malah seperti hajatan-hajatan besar. Apalagi disana ada Bima Arya dan keluarganya,
sengaja diundang dan diminta juga memberikan sambutan.
Setelah
sambutan selesai, barulah film diputar dan kami semua khidmat menyaksikan.
Di
awal-awal adegan, saya masih belum mendapatkan gregetnya film ini. Berasa
semuanya berjalan datang dan biasa saja. Hingga pada sepertiga film sampai
ending, barulah saya merasakan betapa film ini luar biasa.
Ini
nggak main-main. Sungguh. Saya tidak membesar-besarkan atau melebih-lebihkan.
Ini adalah film yang seharusnya diproduksi lebih banyak dan disebarkan. Film
ini hebat! Mengapa?
Pertama,
film ini didanai oleh masyarakat dari hasil patungan. Mengapa didanai oleh
masyarakat? Karena Bunda Helvy, sebagai penulis cerpennya, tidak ingin ada
nilai kebaikan yang hilang di dalamnya. Kalau bisa malah ditambahkan. Bunda
Helvy ingin film ini murni, sesuai kaidah Islam dan tidak melenceng.
Karena
hal inilah maka Bunda Helvy tidak ingin mengambil dana dari Production House
(PH). Agar lebih bisa dominan mengawasi jalannya produksi dan bebas menentukan
mana yang boleh dan tidak.
Kedua,
mengapa film ini hebat? Karena ia menyatukan dua hal yang selama ini, katanya,
agak sulit sekali digabungkan: nilai-nilai islam yang murni dan tayangan yang menghibur.
Selama menonton, saya tak sekalipun melihat adanya sentuhan tangan (kulit) antara
lelaki dan perempuan, tidak ada peluk-pelukan, atau hal lain yang tidak benar.
Bahkan
antara Mas Gagah dan Gita pun, yang notabenenya adalah adik kakak dalam film
ini, tak sekalipun mereka sampai bersentuhan kulitnya. Tapi jangan salah, walau
begitu, chemistry antara mereka tetap terjalin sepanjang tayangan. Hal yang
sama juga terjadi antara Gagah dan Mamanya. Tidak saling merangkul, berpelukan,
atau sebagainya.
Ketiga,
mengapa film ini hebat? Karena ia bisa menyampaikan kebaikan dengan cara yang
indah, elegan, dan sesuai dengan jamannya. Bahwa dakwah dan kebaikan tidak melulu
harus disampaikan melalui mimbar-mimbar, tidak melulu di masjid atau mushalla. Tapi
juga bisa diberikan lewat tontonan yang tidak keluar dari tuntunan.
Tiga
hal inilah yang menjadi poin penting bagi saya kemarin. Terlepas dari itu
semua, tentu film ini juga memiliki kekurangan. Hanya saja, kekurangan itu
tertutupi dengan beragam kelebihan yang saya dapatkan. Semuanya terbayar lunas.
Demikian.
2 komentar
(y)
:-D
EmoticonEmoticon