![]() |
Jodohmu mungkin saja dia |
Seorang teman bertanya kepada
saya, “Yang membuat saya penasaran adalah: apakah ketika Mas Syaiha memutuskan menikah dengan Ella, rasa itu sudah ada? Rasa
yang sebagian besar orang menyebutnya sebagai cinta.”
Untuk diketahui, saat menikah
pada 3 April 2014 lalu, saya memang memilih seorang gadis yang baru saya kenal.
Praktisnya, kami berinteraksi hanya baru seminggu saja ketika saya memberanikan
diri bilang, “Mau nggak ta’aruf sama saya?” dan jawaban akan permintaan itu
terlisankan pada seminggu setelahnya. Apakah dengan waktu yang sesingkat itu,
rasa cinta sudah ada di hati saya?
Baiklah, saya akan menceritakan
tentang potongan puzzle yang mungkin terlewatkan. Dan setelah membaca potongan
ini, semoga saja kau mengerti, bahwa rasa cinta itu bahkan sudah ada sejak
beberapa tahun silam. Rasa cinta yang sempat menyembul sedikit ketika
melihatnya. Ingatlah satu hal, bahwa setiap kita selalu memiliki momen spesial.
Dan itu, boleh jadi saat kita bertemu pasangan kita pertama kalinya.
Waktu itu tahun 2011, ketika
ajakan ta’aruf saya, untuk kedua kalinya ditolak. Belum berjalan sama sekali
memang. Saya hanya baru menyerahkan berlembar-lembar biodata kepada seorang
‘alim dan memintanya untuk mencarikan perempuan yang mau menerima saya. Tak
lama setelahnya, ‘alim itu berkata bahwa ada seorang gadis yang siap menikah –juga sudah menyerahkan biodata kepada ‘alim
yang lain, dan dengan gadis inilah saya diperkenalkan.
Malangnya, seperti yang sering
saya katakan pada kalian, bahwa urusan menikah bagi seorang lelaki pincang
seperti saya ini, bak mencari jarum kecil di atas jerami yang menggunung. Saya ditolak hanya pada tahapan
pertama. Ia belum sanggup menerima.
Bohong jika saya berkata bahwa
saya baik-baik saja. Bagaimanapun, penolakan itu menyakitkan. Dan saya punya
dua kebiasaan untuk mengatasinya. Pertama, biasanya, saya akan pergi ke stasiun
Bogor, membeli tiket ke Jakarta dan berangkat. Sepanjang perjalanan, saya
memilih duduk sendiri dengan headset
tersumbal di telinga, memutar musik keras-keras dan merenung. Sesampainya di
stasiun kota Jakarta, saya akan langsung ke loket, membeli tiket kembali, dan
melakukan hal yang sama.
Mungkin kalian akan menganggapnya
gila. Biarlah.
Pilihan kedua, saat hati saya
sedang tidak bersahabat, biasanya saya pergi ke toko buku, membuka
berlembar-lembar judul apa saja, atau sekedar memperhatikan orang-orang yang
sedang membaca. Dan waktu itu, ketika penolakan itu menyisakan sesak yang tak
kunjung reda, saya memutuskan pergi ke Bogor Islamic Book Fair 2011 –memperhatikan orang-orang.
Saya sedang membuka
berlembar-lembar buku kala itu, membaca beberapa potong kalimat, dan menutupnya
lagi. Entahlah, saya tidak pernah menghitung itu judul buku yang keberapa. Yang
saya sadari, di depan saya berdiri, sudah ada setumpuk buku yang berserakan.
Saya sempat melirik ke penjaga stan yang memelototi, “Jadi beli nggak sih?” begitu kira-kira wajahnya bilang.
Demi pandangan mata yang
mengancam itulah, saya langsung merapikan barang dagangannya. Nggak lucu kan
kalau sampai saya diusir dan diomeli? Nah, ketika saya sedang menunduk-nunduk
malu seperti pesakitan itulah, ujung mata saya kemudian menangkap sekelebat
bayangan –sepertinya seorang perempuan.
Saya mendongkkan kepala lagi, mencari sosok yang sempat membuat saya penasaran.
Saya menyaksikan keindahan
penciptaan. Seorang perempuan mungil nan menggemaskan itu berdiri diam
mengedarkan pandangan. Ia berbusana gelap. Membuat wajahnya semakin bersinar.
Di lehernya, ada kamera besar merk kenamaan. Mendapati bahwa yang dicarinya
tidak ada, ia mengambil ponsel dan mengetikkan beberapa kalimat disana. Tak
beberapa jenak, Ia kembali ke dalam.
Ya Tuhan. Cantik sekali Ia. Darah
saya sempat berdesir.
Kawan, inilah fitrahnya seorang
lelaki. Benar bahwa beberapa waktu sebelumnya, saya baru saja ditolak dan
merasakan sakit yang tak terperi. Tapi saya tetap bisa mengagumi seseorang
setelah lewat beberapa hari. Lalu apakah saya kemudian mendekati? Ini urusan
lain. Karena ada otak kiri yang mempertimbangkan banyak tragedi.
Ya, saya tidak mendekati gadis
mungil nan anggun tadi. Dalam hati hanya bilang, “Sudahlah, Syaiha. Baru juga
gagal ta’aruf kemarin. Mungkin kau harus banyak berkaca, menekuri diri sendiri.
Apalagi, perempuan tadi cantik sekali. Apa mungkin dia mau menerimamu?”
Bak seorang tentara yang bahkan
belum pergi ke medan perang, saya lalu mundur teratur. Balik kanan dan pulang.
Kawan, kau tahu, Tuhan ternyata
memang luar biasa hebat. Setelah sekian tahun saya tak pernah mengingat
potongan kejadian itu, juga setelah tiga kali gagal pada ta’aruf yang lain, DIA
malah mempertemukan saya dengan gadis berkalung kamera tadi di tahun 2013.
Tepatnya pada 24 November di Kota Tua.
Kali ini pada kesempatan yang
lebih baik. Singkat cerita, saya memberanikan diri berkenalan. Seminggu
setelahnya saya ajak menikah. Seminggu setelahnya lagi, saya diterima. Lalu
menikahlah kami di 3 April 2014 –awalnya
ingin menikah Januari, tapi tertunda karena sesuatu hal– tepat di hari jadi
saya yang ke-28.
Luar biasa.
Nah, apakah saya sudah mencintai
istri saya ketika memutuskan menikah dengannya? Tentu saja. saya sudah memiliki
kecenderungan itu bahkan sejak 2011. Hanya sempat terlupakan. Dan kecenderungan
itu tak besar. Tapi ada. Ia baru saja lahir seperti seorang bayi yang
menggemaskan, memiliki banyak potensi, dan siap berkembang. Atau seperti tunas
yang sehat. Siap untuk tumbuh subur dan rindang.
Akhirnya, saya ingin bilang, mulai
sekarang, ada baiknya kalian memperhatikan setiap potongan-potongan kejadian
yang pernah ada. Karena boleh jadi, jodoh kalian ada disana. Kita saja yang
kurang peka atau tak menyadarinya.
Demikian.
4 komentar
Kapan ya ?
Jempol dehh tulisan bg Syaiha. Kerenn
Tulisan ini juga menginspirasi tulisan saya hari ini (hehe).
Bener-bener tulisan yang kerennn .....
Setiap kisah cinta memang memiliki keindahan tersendiri. Sabar ya joms *pukpuk diri sendiri
Duh,, kalau gitu mulai sekarang sy akan memperhatikan potongan2 orang yg sy kenali.... hihihihi
EmoticonEmoticon