![]() |
Add captionSudah berusia 30 tahun, Tapi Belum Menikah Juga! |
“Bang Syaiha,” sapa seorang perempuan
melalui kotak masuk fan page saya,
“Perkenalkan, nama saya Indah –bukan nama
sebenarnya. Saya seorang gadis yang belum juga menikah. Padahal usia saya
sekarang sudah 30 tahun.”
“Sebenarnya,
bukan tak ada lelaki yang mendekati. Karena setidaknya, sejak usia saya 25
tahun hingga sekarang, ada tiga orang yang menjajaki. Malang, semua tidak
memenuhi kriteria minimal yang saya harapkan.”
“Lelaki
pertama, dekat dengan saya ketika usia saya masih 25 tahun. Anggap saja kedekatan
kami waktu itu adalah usaha perjodohan yang dilakukan orang tua. Kami berdua
dekat. Bahkan tanggal akad pun sudah dibuat. Sayang, karena ketidak konsistenan
pihak keluarga mereka, rencana yang sudah ditetapkan buyar. Berantakan dan tak
jadi diselenggarakan.”
“Memangnya,
keluarga pihak lelaki tidak konsisten bagaimana, Mbak?” saya penasaran.
“Mereka,
seenaknya saja bilang tanggal akan dimajukan. Kami, selaku keluarga perempuan
kan kelabakan. Dan anehnya, ketika saya tanyakan ke lelaki yang berniat menikahi
saya, mengapa tanggal akad nikah akan dimajukan? Eh malah dia bilang, “Loh, bukannya
itu permintaan keluargamu?”
“Saya
lalu mencium sesuatu yang tak benar. Ada sesuatu yang salah.”
“Benar
saja, Bang. Sebulan setelah itu, entah karena apa mereka berkata, tak jadi
meneruskan proses yang sudah sekian lama berjalan.”
“Keluarga
saya merasa dipermalukan. Harga diri kami berantakan.”
Sampai
titik ini, saya masih tak ingin menyela. Karena saya lihat, Indah masih ingin
melanjutkan kisahnya.
“Lelaki
kedua, adalah sahabat teman saya. Kami dikenalkan, tapi kemudian gagal juga.
Pasalnya, belum menikah saja dia sudah menuntut banyak hal. Ini dan itu. Saya
tidak boleh bekerja dan harus rela dibawa kemana saja.”
“Batin
saya menolak.” Ujarnya –melalui pesan
singkat di kotak masuk, “Keluarga saya tidak mampu. Ayah dan Ibu sudah tua
dan renta. Susah bekerja dan tak bisa apa-apa. Selama ini, saya adalah tulang
punggung keluarga. Sehingga rasanya, saya tak mungkin meninggalkan mereka.”
“Jika
dia mau menikahi saya, maka dia harus merelakan saya bekerja, juga tidak
membawa saya kemana-mana. Semua ini saya lakukan demi orang tua. Dan saya pun
berjanji, semua itu tak akan mengurangi bakti saya kepada suami nanti.”
“Malang,
si lelaki tadi tak menerima. Lebih memilih mundur dan tak jadi menikahi.”
Kembali,
saya mendesah. Pernikahan itu memang begini, misteri. Tidak ada yang bisa
menebak-nebak akan bagaimana nanti.
“Bang Syaiha, lelaki ketiga adalah teman
SD saya. Kami bertemu pada sebuah kegiatan. Ia menyapa, bertanya kabar. Kami
pun lalu terlibat obrolan selayaknya teman lama yang lama tak bersua. Ngalor-ngidul. Nggak jelas kemana ujung
pangkalnya.”
“Dan
entah karena angin apa, keesokan malamnya, Ia datang ke rumah. Menemui orang
tua saya dan menyampaikan niat baiknya
ingin menikahi saya. Ia berjanji, jika direstui, maka berikutnya akan datang
lagi dengan keluarga besarnya.”
“Orang
tua saya sempat senang.” Indah melanjutkan, “Hingga hari-hari berikutnya,
ketika si lelaki itu datang ke rumah, meminta ijin hendak mengajak saya
jalan-jalan, orang tua saya mempersilakan.”
“Dia
mengajak saya berkeliling kota. Tidak jelas tujuannya. Berputar-putar saja. Hingga
kemudian, tanpa saya sangka, Ia mengajak saya ke rumah kosong. Rumah
saudaranya. Jelas saja saya menolak. “Ngapain
kita kesana?” kata saya penasaran.”
“Dia
enteng sekali bilang. “Ya, ngapain aja. Nonton
televisi, tiduran-tiduran dan bermesra-mesraan.”
“Saya
menolak, dan bilang, “Saya tidak mau.
Kita belum menikah. Belum halal.” Dan dia jawab seenaknya, “Memangnya kenapa? Saya pun nanti akan
bertanggung jawab. Sekarang atau nanti, sama saja, bukan? Ayolah, kita kesana
dan bermesra-mesraan.” Ajaknya lagi dengan wajah penuh birahi.”
“Beruntung
Allah masih melindungi saya. Hari itu, dia tidak berhasil membawa saya ke rumah
kosong yang Ia ceritakan. Tapi dia tak menyerah. Hampir setiap malam dia
mengajak saya sms-an, bermesum di dalamnya. beberapa kali malah mengajak saya phone sex, sebuah hal yang tak pernah
saya mengerti sebelumnya.”
“Karena
semua kelakuannya yang tak bermoral itulah, akhirnya saya memutuskan untuk tidak
melanjutkan rencana pernikahan dengannya.”
“Jujur
saya, Bang Syaiha,” kata Indah lagi,
“Saya trauma. Apakah semua lelaki demikian? Lalu bagaimana bisa, saya yang
berkerudung lebar dan panjang ini diperlakukan demikian? Apakah dia tidak
menghargai busana yang saya kenakan?”
“Saya
sadar, hingga sekarang saya belum menikah, boleh jadi karena sikap saya yang
terlalu memilih. Tapi tak mengapa. Biarlah. Mencari suami tentu harus yang
terbaik, nggak boleh asal-asalan. Bukankah begitu, Bang Syaiha?”
Ya,
saya sepakat dengan Indah. Semua yang dilakukannya, saya rasa sudah benar.
Tidak ada yang salah.
Suami
adalah title terhormat. Ia pemimpin keluarga, juga teladan anak-anak. Maka
bodoh sekali jika dalam mendapatkannya, kalian tak memilih-milih. Tidak
melakukan seleksi dengan baik. Asal terima saja karena umur yang kian menua.
Jangan
begitu, nanti malah menyesal dan berantakan.
“Tapi,
Bang Syaiha, bagaimana kalau kita
menjadi perawan tua?”
Amboi,
bagi saya, tentu itu lebih baik dibandingkan salah memilih lelaki sebagai
pendamping sepanjang usia. Bisa menderita. Dan ujung-ujungnya, perceraian yang
tak diharapkan terlaksana. Ini kan malah rugi dua kali.
Lebih
baik, tetap bersabar. Berdoa dan tawakkal.
Sabar,
dalam kasus ini, bukanlah kesabaran pasif, berdiam diri dan tidak melakukan
apa-apa. Justru, yang saya maksud adalah sabar dalam mencari, aktif. Terus
berbenah menjadi lebih baik lagi. juga berusaha mendapatkan lelaki dengan cara
yang Islami.
Dekati
seorang kiyai, minta bantuannya untuk mencarikan suami. Tentu, Ia memiliki
banyak kenalan orang-orang baik. Orang-orang shalih yang boleh jadi juga sedang
menanti. Iringi juga usaha ini dengan banyak memberi. Santuni anak yatim yang
ada di kanan dan kiri, tebar senyum kepada siapa saja yang ditemui, juga
membuka diri kepada lebih banyak orang lagi.
“Tapi
saya trauma, Bang Syaiha. Saya takut
semua lelaki demikian. Berotak mesum dan tak karuan.”
Alamak,
tentu saja itu pemikiran yang konyol sekali. Sapi adalah hewan berkaki empat,
tapi semua yang berkaki empat belum tentu sapi, bukan? Lelaki juga demikian.
Jangan disama ratakan. Dia –yang
mendekatimu dan mengajak bermesum ria, adalah lelaki. Tapi tidak semua
lelaki memiliki prilaku yang sama sepertinya.
Jangan
memukul rata semua. Itu pemikiran yang tak adil.
Carilah
lelaki-lelaki yang baik di masjid-masjid, di tempat-tempat pengajian, dan di
majelis-majelis ilmu. Benar, bahwa itu semua tak menjamin kemuliaan mereka.
Tapi setidaknya, mereka punya niat mendekatkan diri pada ilahi, punya kemauan
mendalami ilmu demi bekal hidup denganmu nanti. Peluang salah pilih suami, jadi
bisa terhindari.
Demikian.
10 komentar
minta cariin ama bang Syaiha aja... keknya anak odop banyak yg available hehehe..
Saya lebih setuju kalimat-alimat ini"
“Tapi, Bang Syaiha, bagaimana kalau kita menjadi perawan tua?”
Amboi, bagi saya, tentu itu lebih baik dibandingkan salah memilih lelaki sebagai pendamping sepanjang usia. Bisa menderita. Dan ujung-ujungnya, perceraian yang tak diharapkan terlaksana. Ini kan malah rugi dua kali.
karena suami kita dampingi setiap hari peimpin bagi keluarga dan teladan bagi anak-anak.
Lebih baik telat menikah tapi sakinah mawaddah wa rahmah karena ketemu jodoh yang pintar cari ridho Allah, daripada buru2 tapi hancur lebur jadi debu karena ketemu pasangan yang hanya senang memperturutkan hawa nafsu
High Quality Jomblo.. menerima dan menolak karena Allah, Insya Allah tetap berkah umurnya :-)
nice share bang.hight quality it's must!
analoginya gokil bang.
Sapi berkaki empat. ^_^
ada ada aja. hahaha
Mencerahkan untuk wanita yg dlm penantian
Mencerahkan untuk wanita yg dlm penantian
Saya suka ini. Sapi adalah hewan berkaki empat, tapi semua yang berkaki empat belum tentu sapi, bukan? . hehehe. Mantap bang.
bang syaiha maaf bs tolong baca chat di fan page,,makasih
EmoticonEmoticon