![]() |
Susahnya menjalani kehidupan dengan kaki polio |
Saya diam sejenak mendengar pertanyaannya, mengerutkan kening, bertanya dengan raut wajah, "Maksudnya?"
Ia membenarkan duduknya lebih serius, lalu berkata kemudian, "Begini, Bang," ujarnya hati-hati sekali, takut membuat saya tersinggung, "maaf ya," katanya pelan, "Bang Syaiha kan punya kekurangan," diam sejenak, pandangan matanya mengarah ke kaki kanan saya, lalu meneruskan, "Tapi kok bisa menjalani hidup ini seperti orang normal. Bahkan, menurut saya, Bang Syaiha malah bisa melakukan hal lain yang belum tentu orang normal bisa lakukan."
Saya tersenyum simpul, menjawab sekenanya, "Kamu terlalu melebih-lebihkan."
Dia menggeleng mantap. Maksudnya, dia tidak melebih-lebihkan apapun.
"Allah sedang menutupi semua kejelekan dan aib saya, makanya kamu dan orang-orang memandang saya sedemikian wah. Padahal mah, saya nggak ada apa-apanya, kalian jauh lebih hebat."
"Tapi ini sungguhan, Bang Syaiha," katanya tulus, "saya dan teman-teman kagum dan ingin tahu sebenarnya, kok bisa sih, orang yang seperti Bang Syaiha ini menjalani hidup sedemikian enjoy dan nyaman sekali (sepertinya)."
Sekarang gantian saya yang diam, menatap dinding ruangan tempat kami bercengkerama. Mencoba berpikir, apa yang harus saya jawab?
"Apakah, misalnya nih ya," ia berkata halus sekali, "Bang Syaiha berjalan di keramaian dan kemudian dipandangi oleh banyak orang, apa nggak risih? Bang Syaiha nggak malu?"
Saya menggeleng, "Awalnya dulu sempat risih. Tapi sekarang nggak lagi. Mengapa demikian? Karena saya tidak bisa mengontrol orang lain untuk melakukan ini dan itu. Kalau saya bisa, pasti saya arahkan pandangan mereka ke tempat lain. Tapi kan itu nggak mungkin. Saya tidak bisa meminta setiap orang bekerja sesuai yang saya inginkan."
Lengang sejenak.
"Karena itulah, maka diri sendiri yang saya kendalikan. Menguasai hati untuk tidak jengkel, tidak emosi, apalagi sampai menghardik." saya menarik napas pelan, "Toh, mereka hanya memandangi saya saja, apa salahnya?"
"Nggak malu, Bang?"
"Malu?" saya menyipitkan mata, menekan ujung kata ini lebih dalam dan kemudian menggeleng lagi, "Saya kan nggak berbuat salah, nggak maling, nggak korupsi, nggak ngapa-ngapain, jadi buat apa harus malu?"
Teman saya diam, mungkin dalam hatinya bilang, "Iya juga, ya. Ngapain malu. Pertanyaan yang bodoh!"
Ia bertanya lagi, "Dengan kaki yang istimewa itu, Bang Syaiha nggak kesusahan jika harus naik tangga, misalnya?"
Alamak, jangankan naik tangga yang tinggi-tinggi. Bahkan berjalan yang agak menanjak sedikit saja, saya kepayahan. Jadi, buat apalagi bertanya demikian?
Saya jawab, "Tentu saja saya kesusahan. Makanya saya selalu menghindarinya (tangga). Memilih naik lift atau tangga berjalan. Kecuali jika tidak ada, maka terpaksa saya akan menaikinya, pelan-pelan. Menginjak satu demi satu anak tangganya. Nikmati sajalah."
"Nggak capek, Bang?"
Amboi! Kalian yang normal saya naik tangga itu melelahkan, apalagi saya! Saya tanggapi singkat pertanyaan itu, "Tentu saja capek."
"Lalu, jika demikian," ia masih saja bawel bertanya ini dan itu, "Bagaimana caranya Bang Syaiha menjalani kehidupan yang tidak bersahabat ini?"
Bersambung KESINI.
5 komentar
Dibalik hal "Istimewa" pasti ada perjuangan yang luarbiasa.
Semua orang pasti memiliki kekurangan dan kelebihan, so santai saja
Itu edisi kepo Bang, tak apa mungkin dia sangat penasaran denga Bang Syaiha.
Ini sangat ditunggu kelanjutannya
Itu edisi kepo Bang, tak apa mungkin dia sangat penasaran denga Bang Syaiha.
Ini sangat ditunggu kelanjutannya
Hmm salut bang
namun saya yakin untuk menjadi orang yang berjiwa besar seperti sekarang tentu juga telah melewati begitu banyak hal-hal yang tidak mudah
EmoticonEmoticon