Beberapa
minggu lalu ada seseorang yang menghubungi via pesan singkat, bertanya, “Bang
Syaiha, apakah ada kemungkinan Bang Syaiha akan membuka kelas menulis online?”
“Kelas
menulis online?” saya penasaran, “Maksudnya bagaimana, mbak?”
“Ya
kayak belajar menulis gitu, tapi dilakukan via online. Bisa dalam sebuah grup
whatsapp, facebook, atau apalah. Jaman sekarang kan sudah canggih, Bang. Jadi
lebih mudah dilakukan.”
“Oh,”
saya terus mengetik beberapa kata berikutnya, “tidak, mbak. Saya tidak punya
niat membuka kelas menulis online.”
“Wah
sayang sekali ya,” balasan darinya, disertai emoticon kecewa, bibir yang
melengkung seperti pelangi, manyun. “Padahal, jika ada kelas itu, saya ingin
sekali bisa belajar pada, Bang Syaiha. Bayar nggak apa-apa deh. Buka ya, Bang
kelasnya.”
“Buat
apa, mbak?”
“Ya
buat menampung orang-orang seperti saya ini, Bang. Orang yang punya keinginan
kuat untuk bisa menulis, tapi bingung hendak belajar kemana.”
“Belajar
sendiri saja, mbak. Beli buku dan terus menulis.”
“Emang
gitu doang bisa, Bang?”
“Bisa
banget,” saya menjelaskan, “saya juga demikian kok, mbak. Saya nggak pernah
sekalipun ikut pelatihan menulis, baik yang offline atau yang online. Yang
gratis saja saya males datang, apalagi yang berbayar. Buat apa? Emangnya
setelah ikut pelatihan itu saya akan langsung bisa menjadi penulis, gitu?”
“Ya
nggak juga sih, masih ada proses yang harus dilewati.”
“Nah
itu, makanya saya lebih memilih melewati proses ke arah sana pelan-pelan
daripada sibuk sana-sini ikut pelatihan.”
“Tapi,
kalau ikut pelatihan kan bisa menambah wawasan dan semangat, Bang.”
“Bener,
mbak. Cuma malangnya kan, biasanya semangat yang lahir dari pelatihan hanya
bertahan tiga atau empat minggu saja, toh? Setelah itu kembali lagi, menulis
hanya mengandalkan mood doang.”
Saya
meneruskan, “Semangat menulis itu datang dari diri sendiri, seharusnya. Agar
bisa bertahan lama dan tidak mudah hilang. Agar tidak angin-anginan. Agar tidak
hangat-hangat taik ayam.”
“Itu
dia, Bang. Tadi saya nanya apakah Bang Syaiha akan membuka kelas menulis online
atau tidak, salah satu tujuannya itu. Saya ingin tahu mengapa Bang Syaiha bisa
menulis setiap hari tanpa henti? Saya ingin bisa ketularan demikian, agar bisa
menghasilkan sebuah catatan setiap hari juga.”
“Kalau
cuma pengen tahu itu doang, mah, nggak perlu buka kelas menulis online segala.”
“Kan
sekalian agar bisa belajar dan berdiskusi tentang kepenulisan, Bang. Oh iya,
Bang, jadi apa rahasianya agar bisa menulis setiap hari dan menjaga semangat
dalam diri sendiri?”
“Entah,
saya tidak tahu.”
“Ah,
masa nggak tahu. Nggak usah pelit-pelit deh, Bang.”
“Iya,
mbak, saya benar-benar tidak tahu apa sebabnya saya bisa menulis setiap hari.
Saya hanya merasa bahagia saja setiap kali berhasil menulis dan mempostingnya
di blog atau fanpage saya.”
“Itu
doang, Bang?”
“Emang,
dalam hidup ini, ada yang lebih penting dari kebahagiaan ya, mbak?”
Hening.
6 komentar
Betul bang,.bahagia rasanya jika sudah menulis
Hihihi..maksa ya bang... Hmm..
Emang ada bneran orang begitu ya? *he..baru tau..
Setuju banget soal, tak ada yang lebih penting daripada bahagia. Lepas dari bahagia karena apa. ..Setiap orang punya standar masing2 menilainya.
Hwaaa..mantap kali jawaban abang kita ini. Setuju bang.
Asal muasal lahirnya odop ini ? Bang
Hehehe...yang gratis saja malas apalagi yang bayar. Duh, itu dalem banget maknanya.
Saya share ya bang
EmoticonEmoticon