Ya, saya jawab saja,
"Kirimkan ke penerbit dan tunggu tiga bulan. Nanti, penerbit akan memberi
kabar, apakah naskahmu diterima dan diterbitkan, atau di tolak dan
dikembalikan."
"Jadi, prosesnya lama ya,
Bang?"
"Iya. Begitulah jika ingin
mengikuti yang dilakukan orang kebanyakan. Naskah kita harus benar-benar bagus,
sesuai visi dan misi penerbit, dan tentu saja harus menjual. Jika tidak, maka
naskah kamu akan dikembalikan."
"Itu susah ya, Bang? Eh,
anu.. Maksud saya, susah ya kalau mau menembus penerbit besar?"
"Begitulah, mbak. Mereka
adalah perusahaan. Orientasinya adalah profit. Menguntungkan buat mereka atau
tidak."
"Tadi Bang Syaiha bilang itu
adalah yang sering dilakukan orang-orang, kan? Emang ada cara lain untuk
menerbitkan buku?"
Untungnya, tadi siang saya agak
longgar, jadi bisa menjelaskan agak panjang lebar. "Ada mbak. Selain
mengirimkan naskah ke penerbit mayor, kita juga bisa merintis karir kepenulisan
kita dari bawah. Benar-benar dari nol."
"Jelasin dong, Bang..."
"Begini, mbak.." saya
berkata, "sekarang kan sedang marak-maraknya penerbitan indie. Mereka bisa
membantu kita menerbitkan buku dengan mudah, cepat, dan hasilnya juga lumayan.
Asalkan kita punya modal aja. Punya uang buat membayar mereka melakukan
pekerjaan yang kita minta."
"Modal?"
"Iya, mbak. Kita harus punya
modal."
“Ceritakan bagaimana caranya,
Bang!”
“Begini, mbak. Intinya, penerbit
indie itu punya percetakan dan bisa mengurusi tetek bengeknya menerbitkan buku.
Mulai dari mengurus ISBN, mengedit naskah, dan melayoutnya menjadi lebih enak
dipandang. Sebaliknya, di lain pihak kita punya naskah yang sudah jadi dan
ingin segera dibukukan.”
“Nah, ini kan bisa dipertemukan.
Kita bayar ke mereka untuk menerbitkan buku kita menjadi nyata.”
“Oh. Besar nggak, Bang, modalnya?”
“Besar atau tidak itu relatif,
mbak.” Saya menjawab demikian. “Ambil contoh novel Sepotong Diam saya deh.
Tahun 2014, naskah novel itu hendak diterbitkan 1000 eksemplar dengan harga 17
juta. Itu artinya, satu bukunya hanya kena 17ribu toh?”
“Murah ya, Bang!”
“Iya.” saya menjawab singkat dan
melanjutkan, “Padahal, saya menjual buku itu dengan harga 60ribuan ke
orang-orang. Kalau terjual semua kan totalnya bisa 60 jutaan.”
“Terus, Bang Syaiha jadi
menerbitkan sejumlah itu, 1000 buku?”
“Tidak, mbak. Waktu itu saya
tidak punya modal.”
.
.
.
.
Yang ingin saya sampaikan apa?
Pertama, cara menerbitkan buku
itu ada banyak jalan. Di jaman seperti sekarang, itu mudah saja dilakukan.
Tapi, walau pun mudah, kita harus banyak perhitungan. Jangan asal-asalan.
Bukannya untung, yang ada malah buntung nanti.
Kedua, jika ingin menempuh cara
yang kedua, menerbitkan buku sendiri, maka mulailah melakukan branding kepada
semua teman-teman. Perkenalkan diri kalian sebagai seorang penulis di dunia
maya, di sosial media, di blog, dan sebagainya.
Menulislah disana sesering
mungkin, kalau bisa setiap hari. Selain untuk melatih kedisiplinan, itu juga
berguna untuk membuat orang percaya bahwa kalian adalah penulis yang produktif
dan sebentar lagi akan menghasilkan buku sendiri.
Ketiga, mau menerbitkan buku
lewat penerbit mayor atau penerbit indie, penting sekali untuk mengelola media
online (media sosial, blog atau apa saja) dengan baik. Buat tulisan atau status
yang enak dibaca dan membangun.
Percaya saja, bahwa kebaikan
sekecil apapun yang kita lakukan sekarang, kalau itu rutin dikerjakan, kelak,
kita sendirilah yang akan memetik hasilnya. Bukan orang lain.
Sungguh, sekecil apapun itu, tidak
pernah ada yang sia-sia. Kebaikan selalu berbalas kebaikan pula.
Demikian.
1 komentar:
Pas banget... Lagi butuh masukan2 kayak begini, tks ya Bang, salam kenal dari Purbalingga Jawa Tengah
EmoticonEmoticon